Wak, duduk yang serius. Kaki turunkan tu. Presiden kita, Prabowo lagi ketemu Putin di Rusia. Ia membawakan oleh-oleh buat kita semua. Apa oleh-olehnya? Simak narasi ini, yang serius ya!
Pada 19 Juni 2025, sejarah mencatat pertemuan dua presiden. Vladimir Putin, manusia yang konon bisa menembakkan rudal dengan pandangan mata dan menjinakkan beruang Siberia pakai bisikan lembut. Ia duduk semeja dengan Prabowo Subianto, seorang jenderal purnawirawan yang kalau bicara bisa membuat panglima NATO mendadak introvert. Lokasinya? Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, tempat yang arsitekturnya lebih cocok untuk konser simfoni atau ritual rahasia keturunan Romanov, bukan perundingan nuklir tropis.
Pertemuan ini diwarnai dengan pelukan hangat, senyum diplomatik, dan kamera yang terus mengejar angle terbaik untuk thumbnail berita. Dari hasil diskusi tingkat dewa tersebut, lahirlah sejumlah kesepakatan yang terdengar seperti naskah film fiksi ilmiah yang keburu tayang di kanal berita nasional.
Pertama, si Beruang Merah sepakat membantu Nusantara mengembangkan teknologi nuklir damai. Kedengarannya mulia, tapi tetap saja, kata “nuklir” dan “damai” dalam satu kalimat lebih cocok jadi judul novel distopia dari pada kebijakan publik. Katanya sih untuk kesehatan, pertanian, dan pelatihan tenaga ahli. Bayangkan sawah di Subang yang tumbuh dengan energi reaktor, atau klinik kesehatan di Sumba yang bisa mendeteksi penyakit sejak dalam pikiran. Tentu saja, semua akan dikawal ahli, karena tidak semua petani siap menanam singkong sambil pakai jas anti radiasi.
Lalu, empat nota kesepahaman ditandatangani. Pendidikan tinggi, transportasi, teknologi digital, media massa, dan investasi antara Danantara dan Russian Direct Investment Fund. Ini bukan cuma soal kerja sama, ini nyaris seperti pernikahan politis tanpa pesta, tanpa lempar bunga, tapi penuh doa agar tak bercerai di tengah jalan karena beda ideologi dan saldo rekening.
Kalau you pikir itu semua sudah cukup dramatis, bersiaplah, rute penerbangan Moskow–Bali resmi dibuka tiga hingga empat kali seminggu. Ini bukan sekadar penerbangan, ini adalah lorong teleportasi antara dua dunia. Satu diselimuti salju dan kode-kode rahasia, yang satu lagi penuh aroma sate lilit dan musik dangdut yang berdengung dari warung di pinggir pantai. Dalam waktu dekat, mungkin saja kita akan melihat turis Rusia menyusuri pasar Ubud sambil bertanya dalam aksen tebal, “Di mana saya bisa beli minyak kayu putih nuklir?”
Yang paling meledak tentu pernyataan dukungan Rusia untuk Indonesia masuk ke BRICS. Ini semacam menyodorkan kursi kosong dalam forum global elit, yang selama ini hanya menyapa Indonesia dengan anggukan setengah hati. Dengan masuknya RI, BRICS tak lagi jadi klub ekonomi raksasa yang gemuk tapi pemalu, tapi kini punya anggota baru yang doyan rendang dan bisa berpantun sambil rapat.
Semua ini ditutup dengan sebuah deklarasi kemitraan strategis. Dalam istilah sederhana, kita sekarang sah berteman baik dengan Rusia, di atas kertas, dan mungkin juga di dalam algoritma. Prabowo bilang pertemuan itu “intens, hangat, dan produktif.” Tapi kalau boleh jujur, itu terdengar seperti review film romantis yang penuh dialog dalam tatapan mata dan musik latar Beethoven. Apakah ini akan mengubah peta dunia? Mungkin. Tapi yang pasti, ini membuat diplomasi kembali seksi.
Semua ini ditutup dengan Deklarasi Kemitraan Strategis, kalimat sakral yang terdengar seperti mantra diplomatik abad ke-21. Di sanalah Prabowo dan Putin berdiri, dua sosok yang seolah diambil dari kisah epik yang ditulis ulang oleh sastrawan mabuk ideologi, melangkah keluar dari istana, membawa harapan besar, rencana-rencana absurd, dan janji-janji manis yang, semoga saja, tak akan menguap seperti WiFi di kantor kelurahan.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Newest
You are reading the newest post
You are reading the newest post
Next
Next Post »
Next Post »